Berikut adalah pertanyaan dan jawaban
seputar masalah video fotografi oleh dua ‘ulama besar Saudi Arabia
(Hafidzahumallah) yaitu Syaikh Bin Baaz dan Syaikh Al-’Utsaimin, berkaitan dengan hadits :
Dari Ibnu Mas’ud Radiyallahu `anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu `alaihi wasalam bersabda : “Sesungguhnya
manusia yang paling keras disiksa di hari Kiamat adalah para tukang
gambar [makhuk hidup] ( yaitu mereka yang meniru ciptaan Allah)”. (Shahihain – yakni dalam dua kitab Shahih Bukhari dan Muslim atau biasa disebut muttafaqun `alaihi, red)
Dari Ibnu Umar Radiyallahu `anhu berkata : Rasulullah Shallallahu `alaihi wasalam bersabda : “Sesungguhnya
orang yang membuat gambar- gambar [makhluk hidup] ini akan disiksa
[pada] hari kiamat, dan dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkanlah apa yang
telah kalian buat!’”.(Dalam Shahihain, lafadz Bukhari).
Boleh atau tidak bolehkah fotografi itu?
Apa dalil orang-orang yang membolehkannya dan yang melarangnya? Silakan
baca ulasan tentang keduanya melalui fatwa di bawah ini. Semoga
bermanfaat.
Pendapat yang membolehkan (tidak mutlak) :
Syaikh ‘Utsaimin ditanya :
Ya Fadhillah As Syeikh, Allah menyaksikan bahwa saya mencintai anda karena Allah.
Apa pendapat Syeikh tentang kamera foto, kamera video untuk dokumentasi ?
Karena kami dimintai oleh divisi pendidikan dan departemen pendidikan [untuk mendokumentasikannya]
Jawab Syaikh Utsaimin :
Saya katakan pada penanya, semoga Allah mencintainya karena dia mencintai saya karena Allah.
Saya berpendapat bahwa video atau fotografi boleh-boleh saja, karena untuk kebutuhan.
Dan mengambil gambar dengan video pada hakekatnya bukanlah menggambar
karena gambar yang ada di dalam kaset video tidak terbentuk secara
jelas, tapi hanya berupa pita kaset yang apabila diputar baru terbentuk
gambar.
Adapun fotografi instan (polaroid), yang
tidak membutuhkan waktu yang lama, maka yang demikian itu pada
hakekatnya tidak digolongkan kedalam jenis lukisan. Jelas?
Bukan lukisan, tapi itu adalah
pengambilan gambar yang ada di depannya dengan cara menekan tombol. Tapi
apakah kamera tersebut melukis wajah ?
Jawabnya… tidak! Demikian juga mata, tidak juga. Maka hasilnya seperti aslinya yang Allah ciptakan.
Kemudian saya umpamakan kalau saya
menulis di kertas lalu difotokopi, apakah hasil fotokopi ini bisa
dikatakan tulisan mesin fotokopi atau tulisan saya ? Jawablah wahai
pemuda soal ini.
Saya menulis “segala puji bagi Allah,
shalawat serta salam atas nabi. ..” kemudian saya fotokopi, maka
keluarlah hasil fotokopi tersebut. Apakah huruf yang keluar dari alat
tersebut tulisan alat atau tulisan saya? Tulisan saya!
Inipun sama saja. Sebab itu sebuah kamera
bisa memfoto walaupun tukang fotonya buta. Tinggal dihadapkan kepada
objek, jadilah gambar.
Tapi kita bertanya, untuk apa dia
memotretnya? Jika tujuannya untuk yang haram, maka hukumnya pun haram.
Jika tujuannya untuk yang mubah, maka hukumnya pun mubah, atau dalam
perkara yang dibutuhkan itu pun boleh.
Pendapat yang tidak membolehkan :
Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz ditanya :
Bagaimana dengan hukum fotografi, apakah
sama seperti kalau kita menggambar dengan tangan? Bagaimana dengan foto
Syaikh (Bin Baz, red) yang ada di majalah, apakah ini menunjukkan
bolehnya gambar walaupun itu di luar sepengetahuan syaikh tersebut?
kalau foto tidak boleh, bagaimana hukumnya membeli koran dan majalah
yang penuh dengan foto, walaupun yang kita cari adalah berita-berita
penting bukan fotonya? Apakah boleh boleh meletakkan koran dan majalah
tersebut di mushalla ataukah kita harus merusaknya setelah membaca?
Lantas bagaimana pula hukumnya menonton televisi ?
Jawab :
Fotografi termasuk pembuatan
gambar yang diharamkan dan hukumnya sama seperti menggambar dengan
tangan. Yang berbeda adalah cara pembuatannya. Demikian juga alat ini
tidaklah menunjukkan perbedaan dalam hukumnya. Tidak ada bedanya orang
itu harus bersusah payah dahulu untuk membuat gambar atau tidak.
Sedangkan mengenai gambar saya (Syaikh bin Baz rahimahullah) yang
dimuat di majalah, itu adalah diluar sepengetahuan saya. Dan ini
tidaklah menunjukkan bahwa saya mengizinkannya, saya pun tidak
meridhoinya.
Tentang majalah dan surat kabar yang
memuat berita penting dan masalah keilmuan yang bermanfaat sendang di
dalamnya ada gambar-gambar bernyawa, maka boleh membelinya dan mengambil
manfaat darinya berupa ilmu, dan berita, sedangkan gambar-gambar itu
hanya mengikuti saja. Hukum majalah dan koran itu mengikuti asal
tujuannya, yaitu tanpa gambar-gambar itu. Tentu saja boleh meletakkannya
di mushalla dengan menutupi gambarnya atau menghapus kepalanya
(kebanyakan orang menganggap cukup dgn menghapus matanya, red).
Mengenai televisi, tidak boleh ditaruh di
mushalla dan tidak boleh menonton acara-acara yang mempertontonkan
acara-acara yang mempertontonkan perempuan telanjang atau
perbuatan-perbuatan lain yang tidak senonoh.
0 komentar:
Posting Komentar