Secara Bahasa Nikah berasal dari kataنَكَحَ – يَنْكِحُ – نِكَاحًا yang berarti الدَحْم (mengawini) atau الخَجأ (menggauli). Hal ini sesuai dengan firman Allah -subhaanahu wa ta’ala-,
الزاني لا ينكح إلا زانية أَو مشركة والزانية لا ينكحها إِلا زانٍ أَو مشرك
“Laki-laki yang berzina tidak menikah melainkan dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik…“
Ada juga yang mengatakan bahwa nikah secara bahasa bermakna الضم (menggabungkan) dan الجمع (mengumpulkan/menghimpun). Dikatakan pula artinya التداخل (saling memasuki/mencampuri) sebagaimana dalam kalimat تناكحت الأشجار (mengawinkan tumbuhan) apabila saling tarik menarik dan saling bergabung antara satu jenis tumbuhan dengan lainya.
Adapun al-Azhari mengatakan bahwa pada asalnya nikah dalam perkataan Arab bermakna الوطء (al-wath’u) yakni bersetubuh/berhubungan intim. Dikatakan pula bahwa nikah bermakna التزويج yakni perkawinan yang menjadi sebab diperbolehkannya berhubungan intim dengan cara yang halal.
Atau sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Faarisi dan Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin -rahimahullaahu ta’ala- bahwa nikah secara bahasa mengandung dua pengertian, yaitu akad dan jima’ (bersetubuh). Apabila dikatakan nakaha binta fulaanin, maksudnya melakukan akad nikah dengan wanita si fulan. Namun jika dikatakan, nakaha zaujatahu, maka maksudnya al-wath’u
(menyetubuhinya). Jadi kedua makna tersebut memiliki kesamaan arti
tergantung kata yang disandarkan kepadanya. Jika kata nikah disandarkan
kepada wanita asing, maka maksudnya adalah akad. Adapun jika disandarkan
kepada hal yang mubah (diperbolehkan), maka maksudnya adalah jima’ (bersetubuh).
Adapun pengertian nikah secara istilah,
maka ulama mengemukakan berbagai pendapat mengenai hal ini. Namun pada
dasarnya seluruh pengertian tersebut mengandung esensi yang sama
meskipun redaksionalnya berbeda. Perbedaan tersebut tidaklah
memperlihatkan adanya pertentangan akan makna yang terkandung dalam
pernikahan tersebut.
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin -rahimahullaahu ta’ala-
menjelaskan bahwa pengertian nikah menurut syar’i berarti melaksanakan
akad dengan seorang wanita dengan maksud untuk mendapatkan kenikmatan
dengannya dan mendapatkan anak (keturunan) serta manfaat-manfaat yang
lain yang ada berhubungan dengan berbagai kemaslahatan dilaksanakan
nikah.
Adapun Ibnu Qudamah -rahimahullaahu ta’ala-
mengatakan bahwa nikah menurut istilah syar’i adalah suatu akad
perkawinan dan lafadz nikah secara mutlak mengandung pengertian tersebut
selama tidak ada dalil yang merubahnya. Al-Qadhi berkata tentang adanya
keserupaan dalam hakekat secara menyeluruh antara akad dan hubungan
intim, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah -subhaanahu wa ta’ala-,
وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
Disebutkan dalam al-Majmuu’ Syarhu al-Muhadzdzab,
bahwa nikah dalam istilah syar’i berarti suatu akad (sebuah ikatan)
yang menjadikan sebab diperbolehkannya berhubungan intim dengan
menggunakan lafadz nikah atau kawin. Adapun dalam masalah akad ini
terdapat banyak dalil, baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Bahkan ada
yang mengatakan bahwa kata nikah dalam al-Qur’an tidak ada maksud lain
kecuali akad. kecuali yang tercantum dalam firman Allah -subhaanahu wa ta’ala-,
حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ
“…hingga dia nikah dengan suami yang lain.“
Karena jika kata nikah dalam ayat ini dimaknai dengan makna selain al-wath’u (bersetubuh), maka akan dikatakan sebagai perzinaan, bukan pernikahan.
Dalam mendefinisikan makna nikah ini, maka ulama terbagi menjadi tiga, yakni:
- Pada hakekatnya nikah adalah sebuah akad, adapun berhubungan intim sifatnya majazi. Sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
- Pada hakekatnya maksud dari nikah adalah berhubungan intim. Adapun akad sifatnya majazi. Ini merupakan pendapat kalangan Syafi’iyah dan perkataan Abu Hanifah. Dan pengertian ini lebih dekat kepada pengertian secara bahasa. Adapun pendapat yang pertama lebih dekat kepada pengertian secara syar’i. Imam az-Zamakhsyari mengatakan, “Tidak ada maksud lain dari nikah dalam al-Qur’an selain makna akad karena makna watha’ (bersetubuh) hanya sebagai penjelas. Adapun jika ingin menggunakan lafadz kinayah (kiasan), maka dapat menggunakan kata al-mulaamasah atau al-mumaasah (saling bersentuhan).”
- Pada hakekatnya maksud dari nikah adalah kedua pengertian di atas. Dan pendapat ini dibenarkan oleh Ibnu Hajar -rahimahullaahu ta’ala-, walaupun kata yang banyak dipakai adalah kata akad.
Tujuan Pernikahan
Manusia sebagai makhluk sosial tidak
mungkin dapat hidup sendiri. Ia pasti membutuhkan orang lain untuk
berkomunikasi, melaksanakan tugas dan memenuhi segala kebutuhanya.
Selain itu manusia juga dikaruniai nafsu berupa kecenderungan tabiat
kepada sesuatu yang dirasa cocok. Kecenderungan ini merupakan satu
bentuk ciptaan yang ada pada diri manusia, sebagai urgensi kelangsungan
hidupnya. Seperti makan, minum dan menikah.
Lebih spesifik, Islam adalah agama
kehidupan yang menghargai insting biologis (seks) yang merupakan bagian
penting dari kehidupan ini. Sudah menjadi sunatullah, bahwa Islam mampu
menangani semua itu secara seimbang, menarik dan obyektif, selama
manusia masih menganggap perkawinan merupakan elemen penting dalam
kehidupan ini.
Syari’at yang ditentukan Islam mengajak
pasangan suami-istri untuk selalu berusaha menemukan kebaikan, keteguhan
dan perjuangan pasangannya disamping hanya sekedar kenikmatan
berhubungan badan.
Maka Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- memberikan
anjuran kepada para pemuda yang belum menikah agar segera menikah,
karena begitu besarnya faedah dan tujuan yang ada padanya. Diantaranya
faedah dan tujuan yang utama adalah:
1. Menjalankan perintah Allah -subhaanahu wa ta’ala-, sebagaimana hal ini tertuang dalam firman-Nya:
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ
وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء
يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.
“Dan kawinkanlah orang-orang
yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.“
Sebagaimana dikisahkan dalam hadits bahwa suatu ketika Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam-
didatangi oleh tiga orang. Yang pertama mengatakan bahwa dirinya akan
melaksanakan shalat malam secara terus menerus, yang kedua mengatakan
bahwa dirinya akan melaksanakan shaum sepanjang masa (shaum Dhahr).
Adapun yang ketiga mengatakan bahwa dirinya akan menjauhi wanita dan
tidak akan menikah untuk selama-lamanya. Maka seketika itu, Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- marah dan mengatakan bahwa barangsiapa yang membenci sunnah beliau -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- , maka ia bukan dari golongan beliau.
3. Agar orang yang beriman mengetahui
kenikmatan di dunia berupa berhubungan badan dan membandingkannya dengan
kenikmatan di akhirat nanti.
Dengan mengetahui nikmat yang telah Allah -subhaanahu wa ta’ala-
anugerahkan kepada seorang yang beriman, berupa kenikmatan berhubungan
badan, maka seorang yang beriman akan membandingkannya dengan kenikmatan
yang akan diperoleh orang-orang yang senantiasa taat terhadap
perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, yang akan Allah
berikan pada kehidupan yang kekal di Surga. Kenikmatan yang berlipat
ganda yang belum pernah seorangpun merasakannya. Sehingga hal itu akan
menambah keimanan dan ketakwaan seseorang kepada Allah -subhaanahu wa ta’ala-.
Seperti disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas RA, bahwa Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- bersabda,
يُعْطَى الْمُؤْمِنُ فِي الْجَنَّةِ
قُوَّةَ كَذَا وَكَذَا مِنْ الْجِمَاعِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَ
يُطِيقُ ذَلِكَ قَالَ يُعْطَى قُوَّةَ مِائَةٍ
“Orang beriman kelak di Surga diberi kekuatan bersetubuh sekain dan sekian.” Ada shahabat yang bertanya, “Wahai Rasulullah apakah mampu seperti itu?“ Beliau menjawab, “Mereka diberi kekuatan jima’ sampai seratus kali lipat. “
4. Menciptakan ketenangan jiwa dan rasa kasih sayang antara suami-isteri.
Allah SWT berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم
مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم
مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ.
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan Dia jadikan di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. “
5. Melestarikan keturunan, dan mendapatkan generasi yang shalih yang siap berjuang di jalan Allah -subhaanahu wa ta’ala- demi menegakkan kalimatullah di muka bumi ini.
Suatu hal yang lebih urgen pada
pernikahan bukan hanya sekedar untuk memperoleh anak, akan tetapi
berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari
anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah SWT yang siap mengemban
dakwah dan berjihad di jalan-Nya demi menegakkan kalimatullah di muka bumi ini. Generasi seperti inilah yang sangat diharapkan kelahirannya di muka bumi ini oleh Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- .
Dikisahkan dalam hadits, bahwa suatu
ketika Sulaiman bin Daud AS berkata, “Sungguh pada malam hari ini aku
akan menggilir seratus isteri (atau dikatakan, sembilan puluh sembilan).
Setiap dari mereka akan melahirkan para penunggang kuda yang siap
berjuang di jalan Allah.” Maka shahabatnya berkata kepadanya,
“Ucapkanlah insyaAllah (jika Allah menghendaki).” (Akan tetapi) dia lupa
untuk mengucapkan insyaAllah, maka tidak ada seorangpun dari isterinya
yang hamil melainkan hanya satu saja yang kemudian melahirkan separuh
orang. Maka Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam-
bersabda, “Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya dia
(Sulaiman) mengucapkan insyaAllah, sungguh (anak-anaknya) akan menjadi
penunggang kuda yang siap berjihad di jalan Allah.”
Keturunan yang shalih tidak akan
diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Oleh karena itu
suami-istri bertanggung jawab dalam mendidik, mengajarkan, dan
mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar yang diridhai oleh Allah -subhaanahu wa ta’ala-.
Maka Rasulullah SAW menganjurkan kepada seorang muslim agar menikah
dengan wanita yang memiliki rasa sayang, baik kepada suaminya ataupun
kepada anaknya disamping harus subur (yang mampu melahirkan banyak
anak).
Beliau -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- bersabda,
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ.
“Nikahilah wanita yang subur dan penyayang. Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya umatku (pada hari kiamat).”
6. Menjaga kemaluan, menundukkan pandangan dan memelihara kehormatan wanita.
Islam memandang pernikahan dan
pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan
pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- bersabda yang artinya:
“Wahai para pemuda! Barangsiapa
diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah
itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum, karena shaum itu dapat membentengi dirinya.“
Rasulullah SAW juga bersabda bahwa
sesuatu yang banyak menyebabkan manusia tergelincir ke dalam neraka,
adalah mulut dan kemaluan.
7. Meredam syahwat dan menyalurkannya kepada sesuatu yang halal demi mengharapkan pahala dan ridha Allah -subhaanahu wa ta’ala-.
Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- bersabda,
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ
فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ
عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ
لَهُ أَجْرًا.
“Dan hubungan badan diantara kalian adalah shadaqah.“ Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah mengapa seseorang yang menyalurkan syahwatnya mendapatkan pahala?” Beliau bersabda, “Tidakkah
kalian ketahui, jika ia menyalurkannya pada sesuatu yang haram, maka ia
akan mendapatkan dosa? Adapun jika ia menyalurkanya pada yang sesuatu
yang halal, maka ia akan mendapatkan pahala.“
8. Mencegah tersebarnya perzinaan dan penyakit menular di kalangan umat Islam.
Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya,
“Wahai kaum Muhajirin, ada lima
perkara, jika telah menimpa kalian, maka tidak ada kebaikan lagi bagi
kalian. Dan aku berlindung kepada Allah, semoga kalian terhindar
darinya. Lima perkara itu ialah (1) Tidak merajalela praktek perzinaan
pada suatu kaum sampai mereka berani berterus-terang melakukannya,
melainkan akan terjangkit penyakit menular dengan cepat, dan mereka akan
ditimpa penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa umat-umat yang
lalu…..“
Sungguh mendidik tabiat biologis dan
mensucikanya serta mengarahkanya kepada jalan yang benar merupakan
sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan. Sebab, keselamatan dan
kebangkitan umat tergantung padanya.
Oleh karena itulah kaum Muslimin tidak
berselisih pendapat tentang disyariatkannya pernikahan. Bahkan hukumnya
wajib bagi orang yang takut terjebak dalam kemaksiatan dan kemungkaran,
apalagi jika pemahaman agamanya lemah dan banyaknya godaan.
Tujuan-tujuan pernikahan sebagaimana yang
telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah di atas menunjukkan
bahwa perlunya kematangan dan kesiapan mental bagi yang ingin
melaksanakan pernikahan. Kematangan dan persiapan menunjukkan bahwa
pernikahan yang dilakukan berada pada tataran yang sangat serius yang
tidak hanya memperhatikan aspek biologis akan tetapi sesuatu yang tidak
kalah penting adalah memperhatikan aspek psikologi dan dengan
berdasarkan inilah diduga kuat bahwa pernikahan dimasukkan ke dalam
kategori ibadah.
0 komentar:
Posting Komentar