Jumat, 06 Juni 2014

STATUS ANAK ZINA

Ada sebuah kasus yang menimpa salah seorang teman, yaitu istrinya melakukan perzinaan dengan seorang laki-laki. Ketika dia hamil dan melahirkan seorang anak, perempuan tersebut minta cerai, karena ingin menikah dengan pacar gelapnya yang telah berzina dengannya. Dia mengatakan bahwa anaknya yang baru saja lahir adalah anak hasil perzinaan dengan pacarnya, maka anak tersebut harus ia bawa. Bagaimana sebenarnya status anak tersebut ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dijelaskan di sini bahwa perempuan yang melakukan perbuatan zina dan hamil dibagi menjadi dua :

Pertama : 

Dia berstatus sebagai istri dari seorang suami yang sah, sebagaimana yang terjadi pada kasus di atas. Jika perempuan tersebut hamil dan melahirkan, maka status anaknya diikutkan kepada suaminya yang sah, dan bukan kepada laki-laki yang berzina dengannya, walaupun anak tersebut wajahnya mirip dengan laki-laki yang berzina. Kenapa ? karena air mani orang yang berzina tersebut tidak dihargai dalam Islam, sehingga tidak diakui nasabnya.
Selain itu, Islam ingin menutupi aib orang muslim jika hal itu memungkinkan, dan sekaligus ingin menghargai anak manusia yang lahir, karena pada hakekatnya bayi dari hasil perzinaan tersebut adalah makhluk yang tidak bersalah, yang bersalah adalah orang yang berzina. Nah, untuk menutupi hal itu, maka bayi tersebut diikutkan kepada pasangan suami istri yang telah terikat dalam perkawinan yang sah.

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ إِنَّ عُتْبَةَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ عَهِدَ إِلَى أَخِيهِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنْ يَقْبِضَ إِلَيْهِ ابْنَ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ قَالَ عُتْبَةُ إِنَّهُ ابْنِي فَلَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَمَنَ الْفَتْحِ أَخَذَ سَعْدٌ ابْنَ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ فَأَقْبَلَ بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَقْبَلَ مَعَهُ بِعَبْدِ بْنِ زَمْعَةَ فَقَالَ سَعْدٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا ابْنُ أَخِي عَهِدَ إِلَيَّ أَنَّهُ ابْنُهُ فَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا أَخِي ابْنُ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِهِ فَنَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى ابْنِ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ فَإِذَا هُوَ أَشْبَهُ النَّاسِ بِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ مِنْ أَجْلِ أَنَّهُ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِيهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجِبِي مِنْهُ يَا سَوْدَةُ بِنْتَ زَمْعَةَ مِمَّا رَأَى مِنْ شَبَهِهِ بِعُتْبَةَ 
وَكَانَتْ سَوْدَةُ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy berkata, telah menceritakan kepadaku ‘Urwah bin Az Zubair bahwa ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; Bahwa ‘Utbah bin Abu Waqash berjanji kepada saudaranya, Sa’ad bin Abi Waqash agar mengambil anak dari hamba sahaya Zam’ah untuknya. Maka ‘Utbah berkata: “Dia itu anakku”. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang saat tahun penaklukan Makkah, Sa’ad mengambil anak dari hamba sahaya Zam’ah lalu membawanya ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ‘Abdu bin Zam’ah turut bersamanya. Sa’ad berkata: “Wahai Rasulullah, dia ini anak saudaraku yang telah bersumpah kepadaku bahwa anak ini adalah anaknya. Kemudian ‘Abdu bin Zam’ah berkata: Wahai Rasulullah, dia adalah saudaraku, anak dari hambasahaya milik Zam’ah yang dilahirkan di atas tempat tidurnya”. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperhatikan anak hamba sahaya Zam’ah yang ternyata dia manusia yang paling mirip dengannya. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Dia ini milikmu wahai ‘Abdu bin Zam’ah karena dia dilahirkan diatas tempat tidur bapaknya”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berhijablah engkau daripadanya Saudah binti Zam’ah”. Ini beliau ucapkan setelah beliau melihat kemiripannya dengan ‘Utbah. Saudah adalah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (BUKHARI – 2348)
Seorang wanita bersuami yang terbukti selingkuh kemudian melahirkan anaknya, maka tidak lepas dari dua keadaan:
  1. Sang suami tidak mengingkari anak tersebut dan mengakuinya sebagai anaknya.
Apabila terlahir anak dari seorang wanita resmi bersuami dan sang suami tidak mengingkari anak tersebut, maka anak tersebut adalah anaknya, walaupun ada orang yang mengklaim itu adalah hasil selingkuh dengannya, dasarnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits Aisyah Radhiallahu’anha :
“Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum” [HR Al-Bukhari)
Yang dimaksud dengan kata al-Firaasy disini adalah lelaki yang memiliki istri atau budak wanita yang sudah pernah digaulinya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:
“Anak yang lahir adalah milik sang pemilik kasur (suami)” [HR al-Bukhori)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah menyatakan: “Kapan saja seorang wanita telah menjadi firaasy baik sebagai istri atau budak wanita, lalu lahirlah darinya seorang anak, maka anak itu milik pemilik firaasy”. Beliaupun menambahkan: “Dengan Firasy ini maka tidak dianggap keserupaan fisik atau pengakuan seorang dan tidak juga yang lainnya”
  1. Sang suami mengingkarinya
Apabila sang suami mengingkari anak tersebut, maka sang wanita (sang istri) berada dalam satu dari dua keadaan:
  1. Mengakui kalau itu memang hasil selingkuh atau terbukti dengan persaksian yang sesuai syari’at, maka dihukum dengan rajam dan anaknya adalah anak zina. Dengan demikian maka nasab anak tersebut dinasabkan kepada ibunya.
  2. Wanita itu mengingkari anak tersebut hasil selingkuh, maka pasangan suami istri itu saling melaknat (mula’anah) lalu dipisahkan dan digagalkan ikatan pernikahan keduanya selama-lamanya. Anak tersebut menjadi anak mula’anah bukan anak zina. Namun demikian tetap dinasabkan kepada ibunya.
Kedua : 

 Perempuan yang berzina tadi belum mempunyai suami dan belum berada dalam ikatan perkawinan yang sah. Hal ini biasanya terjadi di kalangan para mahasiswa-mahasiswi dan para pelajar putra – putri yang hidup di daerah perkotaan. Bagaimana status anak yang dikandungnya ? Apakah boleh diakui sebagai anak keduanya setelah mereka berdua menikah atau anak tersebut tidak boleh dinisbatkan kepada laki- laki yang menghamili ibunya ?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :

Pendapat Pertama mengatakan bahwa status anak tersebut tetap sebagai anak zina tidak boleh dinisbatkan sama sekali kepada laki-laki yang menghamili ibunya, antara keduanya tidak boleh saling mewarisi, dan jika anak yang lahir tadi perempuan, maka laki-laki tersebut tidak boleh menjadi wali nikahnya. Tetapi anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya yang melahirkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dalilnya adalah hadist Zam’ah di atas bahwa : “ anak itu dinisbatkan kepada suami yang mempunyai istri dari ikatan perkawinan yang sah, sedang yang berzina tidak mendapatkan apa-apa. “
Oleh karenanya, jika laki-laki yang berzina dengan ibunya tadi ingin agar anak hasil perzinaan tersebut diselamatkan dan tidak terlantar begitu saja, maka dibolehkan baginya untuk merawat anak tersebut sebagaimana dia merawat anaknya sendiri. Hanya saja ketika pembagian warisan, anak tersebut tidak berhak mendapatkan warisan. Tetapi, jika laki-laki tersebut ingin menghibahkan atau mewasiatkan sebagian hartanya kepada anak tersebut sebelum dia meninggal dunia, maka hal tersebut dibolehkan.

Pendapat Kedua mengatakan bahwa anak tersebut boleh dinisbatkan kepada laki-laki yang menghamili ibunya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Taimiyah. Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Ishaq bin Rahawih, Sulaiman bin Yasar, Ibnu Sirrin, Hasan Bashri, Ibrahim an-Nakh’I dan lain-lainnya.
Mereka beralasan bahwa hadist Zam’ah di atas hanya berlaku bagi perempuan yang mempunyai suami dari ikatan perkawinan yang sah, sehingga perempuan tersebut disebut firasy ( tempat tidur ) bagi suaminya. Tetapi lain halnya, jika perempuan tadi tidak mempunyai suami dari ikatan perkawinan yang sah, maka dia tidak disebut firasy. Dengan demikian hadist di atas tidak berlaku pada perempuan semacam ini.
Selain itu, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa tujuan dinisbatkan anak zina tadi kepada suami yang sah, adalah untuk menutupi aib dan mengangkat derajat anak yang mungkin dilahirkan dari hasil perzinaan tersebut. Nah, ternyata perempuan tersebut pada waktu dia berzina tidak mempunyai suami yang sah, sehingga anak hasil perzinaan tersebut mau dinisbatkan kepada siapa ? kalau kepada ibunya tentunya nasib anak itu akan menggantung di masa mendatang karena tidak mempunyai bapak, dan orang lainpun lambat laun akan mengetahui bahwa anak tersebut adalah anak zina, dengan demikian aib tersebut akan terbongkar dan mencorengnya serta mencoreng ibu yang melahirkannya, padahal barangkali ibu tersebut sudah bertaubat dengan sungguh-sungguh. Jika dikemudian hari ternyata laki-laki dan perempuan yang berzina tersebut telah bertaubat dan menikah, maka pernikahan mereka berdua adalah sah menurut madzhab Hanafi dan Syafi’I, sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya. Kemudian timbul pertanyaan, apakah salahnya anak tersebut dinisbatkan kepada laki-laki yang sekarang sudah menjadi suami ibunya, sedangkan tidak ada satupun dari pihak lain yang mengklaim bahwa anak tersebut adalah anaknya.
Pendapat ini dikuatkan dengan Atsar Umar bin Khattab, bahwa beliau menisbatkan anak-anak yang dilahirkan pada waktu jahiliyah kepada siapa yang mengakuinya ketika mereka sudah masuk Islam. Berkata Syekh Al Bani: orang-orang yang meriwayatkan atsar ini bisa dipercaya, karena mereka telah meriwayatkan hadist-hadist di dalam shahih Bukhari dan Muslim, hanya saja sanadnya terputus, karena Sulaiman bin Yasar tidak bertemu dengan Umar, akan tetapi tersambung dari jalan lain )

Mahromkah anak zina terhadap keluarga lelaki yang menzinai ibunya?

Telah lalu dijelaskan menurut pendapat yang rajih adalah anak zina terputus nasab dan hak warisnya dari lelaki yang menzinai ibunya (bapaknya). Dengan dasar ini maka anak zina tersebut bukanlah mahrom bagi keluarga lelaki tersebut, sebab status mahrom didapatkan dengan tiga sebab yaitu nasab, persusuan dan perkawinan dan ketiga sebab ini tidak ada pada anak zina. Oleh karena itu ia bukanlah mahram bagi lelaki tersebut, saudara dan anak-anak lelaki tersebut yang dilahirkan dari pernikahan yang sah. Konsekuensinya seluruh hukum-hukum yang berhubungan dengan kebolehan melihat, khalwat dan safar dilarang diantara mereka.
Melihat hal ini, mungkin akan muncul pertanyaan:
 
Bolehkah lelaki tersebut menikahinya?

Permasalahan ini pernah ditanyakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan beliau jawab dengan penjelasan sebagai berikut: “Tidak boleh ia menikahinya menurut mayoritas ulama besar muslimin hingga imam Ahmad mengingkari adanya perbedaan pendapat dalam hal ini dikalangan salaf. Beliau menyatakan: ‘Siapa yang berbuat demikian maka dihukum bunuh’. Disampaikan kepada beliau dari Imam Maalik bahwa beliau membolehkannya, maka imam Ahmad mendustakan penukilan dari imam Maalik tersebut. Pengharaman hal ini adalah pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya, Ahmad dan pengikutnya, Maalik dan mayoritas pengikutnya dan juga pendapat banyak dari pengikut madzhab Syafi’i. beliau juga mengingkari berita imam Syafi’i berpendapat yang berbeda dengan ini. Para ulama berkata:آ  ‘Syafi’i hanya menyatakan tentang anak perempuan dari susuan bukan anak zna hasil perzinahannya’.”
Ibnu Taimiyah juga ditanya tentang seorang yang menzinahi seorang wanita, lalu lelaki tersebut meninggal dunia. Apakah anak lelaki tersebut diperbolehkan menikahi wanita tersebut?
Beliau menjawab: “Ini dilarang dalam madzhab Abu Hanifah, Ahmad dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Maalik dan dalam pendapat kedua beliau membolehkan. Dan ini juga madzhab Syafi’i.” 

Kesimpulan dari pembahasan di atas, bahwa anak yang lahir dari perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang masih berada dalam ikatan perkawinan resmi, maka statusnya dinisbatkan kepada suami yang sah dari perempuan yang berzina tersebut. Sedang jika perempuan yang berzina tersebut tidak sedang dalam ikatan perkawinan sah dengan seorang laki-laki, maka status anak dari hasil perzinaan tersebut masih diperselisihkan para ulama : mayoritas ulama mengatakan bahwa anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya, sedang sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa anak tersebut boleh dinisbatkan kepada lelaki yang berzina dengan ibu yang melahirkannya. Wallahu A’lam.

MAKNA DAN TUJUAN PERNIKAHAN

Pengertian Pernikahan
 
Secara Bahasa Nikah berasal dari kataنَكَحَ – يَنْكِحُ – نِكَاحًا yang berarti الدَحْم (mengawini) atau الخَجأ (menggauli). Hal ini sesuai dengan firman Allah -subhaanahu wa ta’ala-,
الزاني لا ينكح إلا زانية أَو مشركة والزانية لا ينكحها إِلا زانٍ أَو مشرك
Laki-laki yang berzina tidak menikah melainkan dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik…
 
Ada juga yang mengatakan bahwa nikah secara bahasa bermakna الضم (menggabungkan) dan الجمع (mengumpulkan/menghimpun). Dikatakan pula artinya التداخل (saling memasuki/mencampuri) sebagaimana dalam kalimat تناكحت الأشجار (mengawinkan tumbuhan) apabila saling tarik menarik dan saling bergabung antara satu jenis tumbuhan dengan lainya.

Adapun al-Azhari mengatakan bahwa pada asalnya nikah dalam perkataan Arab bermakna الوطء (al-wath’u) yakni bersetubuh/berhubungan intim. Dikatakan pula bahwa nikah bermakna التزويج yakni perkawinan yang menjadi sebab diperbolehkannya berhubungan intim dengan cara yang halal.

Atau sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Faarisi dan Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin -rahimahullaahu ta’ala- bahwa nikah secara bahasa mengandung dua pengertian, yaitu akad dan jima’ (bersetubuh). Apabila dikatakan nakaha binta fulaanin, maksudnya melakukan akad nikah dengan wanita si fulan. Namun jika dikatakan, nakaha zaujatahu, maka maksudnya al-wath’u (menyetubuhinya). Jadi kedua makna tersebut memiliki kesamaan arti tergantung kata yang disandarkan kepadanya. Jika kata nikah disandarkan kepada wanita asing, maka maksudnya adalah akad. Adapun jika disandarkan kepada hal yang mubah (diperbolehkan), maka maksudnya adalah jima’ (bersetubuh).

Adapun pengertian nikah secara istilah, maka ulama mengemukakan berbagai pendapat mengenai hal ini. Namun pada dasarnya seluruh pengertian tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Perbedaan tersebut tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan akan makna yang terkandung dalam pernikahan tersebut.
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin -rahimahullaahu ta’ala- menjelaskan bahwa pengertian nikah menurut syar’i berarti melaksanakan akad dengan seorang wanita dengan maksud untuk mendapatkan kenikmatan dengannya dan mendapatkan anak (keturunan) serta manfaat-manfaat yang lain yang ada berhubungan dengan berbagai kemaslahatan dilaksanakan nikah.

Adapun Ibnu Qudamah -rahimahullaahu ta’ala- mengatakan bahwa nikah menurut istilah syar’i adalah suatu akad perkawinan dan lafadz nikah secara mutlak mengandung pengertian tersebut selama tidak ada dalil yang merubahnya. Al-Qadhi berkata tentang adanya keserupaan dalam hakekat secara menyeluruh antara akad dan hubungan intim, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah -subhaanahu wa ta’ala-,
وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu."
Disebutkan dalam al-Majmuu’ Syarhu al-Muhadzdzab, bahwa nikah dalam istilah syar’i berarti suatu akad (sebuah ikatan) yang menjadikan sebab diperbolehkannya berhubungan intim dengan menggunakan lafadz nikah atau kawin. Adapun dalam masalah akad ini terdapat banyak dalil, baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kata nikah dalam al-Qur’an tidak ada maksud lain kecuali akad. kecuali yang tercantum dalam firman Allah -subhaanahu wa ta’ala-,
حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ
…hingga dia nikah dengan suami yang lain.
Karena jika kata nikah dalam ayat ini dimaknai dengan makna selain al-wath’u (bersetubuh), maka akan dikatakan sebagai perzinaan, bukan pernikahan.
Dalam mendefinisikan makna nikah ini, maka ulama terbagi menjadi tiga, yakni:
  1. Pada hakekatnya nikah adalah sebuah akad, adapun berhubungan intim sifatnya majazi. Sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
  2. Pada hakekatnya maksud dari nikah adalah berhubungan intim. Adapun akad sifatnya majazi. Ini merupakan pendapat kalangan Syafi’iyah dan perkataan Abu Hanifah. Dan pengertian ini lebih dekat kepada pengertian secara bahasa. Adapun pendapat yang pertama lebih dekat kepada pengertian secara syar’i. Imam az-Zamakhsyari mengatakan, “Tidak ada maksud lain dari nikah dalam al-Qur’an selain makna akad karena makna watha’ (bersetubuh) hanya sebagai penjelas. Adapun jika ingin menggunakan lafadz kinayah (kiasan), maka dapat menggunakan kata al-mulaamasah atau al-mumaasah (saling bersentuhan).”
  3. Pada hakekatnya maksud dari nikah adalah kedua pengertian di atas. Dan pendapat ini dibenarkan oleh Ibnu Hajar -rahimahullaahu ta’ala-, walaupun kata yang banyak dipakai adalah kata akad.

Tujuan Pernikahan

Manusia sebagai makhluk sosial tidak mungkin dapat hidup sendiri. Ia pasti membutuhkan orang lain untuk berkomunikasi, melaksanakan tugas dan memenuhi segala kebutuhanya. Selain itu manusia juga dikaruniai nafsu berupa kecenderungan tabiat kepada sesuatu yang dirasa cocok. Kecenderungan ini merupakan satu bentuk ciptaan yang ada pada diri manusia, sebagai urgensi kelangsungan hidupnya. Seperti makan, minum dan menikah.
Lebih spesifik, Islam adalah agama kehidupan yang menghargai insting biologis (seks)  yang merupakan bagian penting dari kehidupan ini. Sudah menjadi sunatullah, bahwa Islam mampu menangani semua itu secara seimbang, menarik dan obyektif, selama manusia masih menganggap perkawinan merupakan elemen penting dalam kehidupan ini.
Syari’at yang ditentukan Islam mengajak pasangan suami-istri untuk selalu berusaha menemukan kebaikan, keteguhan dan perjuangan pasangannya disamping hanya sekedar kenikmatan berhubungan badan.
Maka Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- memberikan anjuran kepada para pemuda yang belum menikah agar segera menikah, karena begitu besarnya faedah dan tujuan yang ada padanya. Diantaranya faedah dan tujuan yang utama adalah:

1. Menjalankan perintah Allah -subhaanahu wa ta’ala-, sebagaimana hal ini tertuang dalam firman-Nya:
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. 

2. Meneladani Sunnah Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- .
Sebagaimana dikisahkan dalam hadits bahwa suatu ketika Rasulullah  -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- didatangi oleh tiga orang. Yang pertama mengatakan bahwa dirinya akan melaksanakan shalat malam secara terus menerus, yang  kedua mengatakan bahwa dirinya akan melaksanakan shaum sepanjang masa (shaum Dhahr). Adapun yang ketiga mengatakan bahwa dirinya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah untuk selama-lamanya. Maka seketika itu, Rasulullah  -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- marah dan mengatakan bahwa barangsiapa yang membenci sunnah beliau -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- , maka ia bukan dari golongan beliau. 

3. Agar orang yang beriman mengetahui kenikmatan di dunia berupa berhubungan badan dan membandingkannya dengan kenikmatan di akhirat nanti.
Dengan mengetahui nikmat yang telah Allah -subhaanahu wa ta’ala- anugerahkan kepada seorang yang beriman, berupa kenikmatan berhubungan badan, maka seorang yang beriman akan membandingkannya dengan kenikmatan yang akan diperoleh orang-orang yang senantiasa taat terhadap perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, yang akan Allah berikan pada kehidupan yang kekal di Surga. Kenikmatan yang berlipat ganda yang belum pernah seorangpun merasakannya. Sehingga hal itu akan menambah keimanan dan ketakwaan seseorang kepada Allah -subhaanahu wa ta’ala-.
Seperti disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas RA, bahwa Rasulullah  -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- bersabda,
يُعْطَى الْمُؤْمِنُ فِي الْجَنَّةِ قُوَّةَ كَذَا وَكَذَا مِنْ الْجِمَاعِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَ يُطِيقُ ذَلِكَ قَالَ يُعْطَى قُوَّةَ مِائَةٍ
Orang beriman kelak di Surga diberi kekuatan bersetubuh sekain dan sekian.” Ada shahabat yang bertanya, Wahai Rasulullah apakah mampu seperti itu? Beliau menjawab, Mereka diberi kekuatan jima’ sampai seratus kali lipat.

4. Menciptakan ketenangan jiwa dan rasa kasih sayang antara suami-isteri.
Allah SWT berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ.
 
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan Dia jadikan di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
 
5. Melestarikan keturunan, dan mendapatkan generasi yang shalih yang siap berjuang di jalan Allah -subhaanahu wa ta’ala- demi menegakkan kalimatullah di muka bumi ini.
Suatu hal yang lebih urgen pada pernikahan bukan hanya sekedar untuk memperoleh anak, akan tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah SWT yang siap mengemban dakwah dan berjihad di jalan-Nya demi menegakkan kalimatullah di muka bumi ini. Generasi seperti inilah yang sangat diharapkan kelahirannya di muka bumi ini oleh Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- .
Dikisahkan dalam hadits, bahwa suatu ketika Sulaiman bin Daud AS berkata, “Sungguh pada malam hari ini aku akan menggilir seratus isteri (atau dikatakan, sembilan puluh sembilan). Setiap dari mereka akan melahirkan para penunggang kuda yang siap berjuang di jalan Allah.” Maka shahabatnya berkata kepadanya, “Ucapkanlah insyaAllah (jika Allah menghendaki).” (Akan tetapi) dia lupa untuk mengucapkan insyaAllah, maka tidak ada seorangpun dari isterinya yang hamil melainkan hanya satu saja yang kemudian melahirkan separuh orang. Maka Rasulullah  -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- bersabda, “Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya dia (Sulaiman) mengucapkan insyaAllah, sungguh (anak-anaknya) akan menjadi penunggang kuda yang siap berjihad di jalan Allah.”
Keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Oleh karena itu suami-istri bertanggung jawab dalam mendidik, mengajarkan, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar yang diridhai oleh Allah -subhaanahu wa ta’ala-. Maka Rasulullah SAW menganjurkan kepada seorang muslim agar menikah dengan wanita yang memiliki rasa sayang, baik kepada suaminya ataupun kepada anaknya disamping harus subur (yang mampu melahirkan banyak anak).
Beliau  -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- bersabda,
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ.
“Nikahilah wanita yang subur dan penyayang. Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya umatku (pada hari kiamat).”

6. Menjaga kemaluan, menundukkan pandangan dan memelihara kehormatan wanita.
Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah  -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- bersabda yang artinya:
“Wahai para pemuda! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum, karena shaum itu dapat membentengi dirinya.
Rasulullah SAW juga bersabda bahwa sesuatu yang banyak menyebabkan manusia tergelincir ke dalam neraka, adalah mulut dan kemaluan.

7. Meredam syahwat dan menyalurkannya kepada sesuatu yang halal demi mengharapkan pahala dan ridha Allah -subhaanahu wa ta’ala-.
Rasulullah  -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- bersabda,
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا.
Dan hubungan badan diantara kalian adalah shadaqah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah mengapa seseorang yang menyalurkan syahwatnya mendapatkan pahala?” Beliau bersabda, Tidakkah kalian ketahui, jika ia menyalurkannya pada sesuatu yang haram, maka ia akan mendapatkan dosa? Adapun jika ia menyalurkanya pada yang sesuatu yang halal, maka ia akan mendapatkan pahala.

8. Mencegah tersebarnya perzinaan dan penyakit menular di kalangan umat Islam.
Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya,
“Wahai kaum Muhajirin, ada lima perkara, jika telah menimpa kalian, maka tidak ada kebaikan lagi bagi kalian. Dan aku berlindung kepada Allah, semoga kalian terhindar darinya. Lima perkara itu ialah (1) Tidak merajalela praktek perzinaan pada suatu kaum sampai mereka berani berterus-terang melakukannya, melainkan akan terjangkit penyakit menular dengan cepat, dan mereka akan ditimpa penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa umat-umat yang lalu…..
Sungguh mendidik tabiat biologis dan mensucikanya serta mengarahkanya kepada jalan yang benar merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan. Sebab, keselamatan dan kebangkitan umat tergantung padanya.
Oleh karena itulah kaum Muslimin tidak berselisih pendapat tentang disyariatkannya pernikahan. Bahkan hukumnya wajib bagi orang yang takut terjebak dalam kemaksiatan dan kemungkaran, apalagi jika pemahaman agamanya lemah dan banyaknya godaan.
Tujuan-tujuan pernikahan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah di atas menunjukkan bahwa perlunya kematangan dan kesiapan mental bagi yang ingin melaksanakan pernikahan. Kematangan dan persiapan menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan berada pada tataran yang sangat serius yang tidak hanya memperhatikan aspek biologis akan tetapi sesuatu yang tidak kalah penting adalah memperhatikan aspek psikologi dan dengan berdasarkan inilah diduga kuat bahwa pernikahan dimasukkan ke dalam kategori ibadah.

SEPUTAR PERMASALAHAN HUKUM FOTO,GAMBAR DAN LUKISAN BAGIAN 1

Gambar berbeda dengan foto. Gambar dibuat dengan cara menggambar, sementara foto dibuat dengan alat-alat fotografi. Gambar juga berbeda dengan menggambar. Gambar adalah benda sementara menggambar adalah perbuatan. Hukum-hukum yang berkaitan dengannya pun berbeda. Lebih detailnya, mari kita simak penjelasan berikut.
 
Fotografi menurut Amir Hamzah Sulaeman mengatakan bahwa fotografi berasal dari kata foto dan grafi yang masing-masing kata tersebut mempunyai arti sebagai berikut: foto artinya cahaya dan grafi artinya menulis jadi arti fotografi secara keseluruhan adalah menulis dengan bantuan cahaya, atau lebih dikenal dengan menggambar dengan bantuan cahaya atau merekam gambar melalui media kamera dengan bantuan cahaya. 

Menggambar (Tashwir) 

Tashwir adalah menggambar bentuk (shurah) sesuatu. Di antara tashwir adalah membuat patung-patung. Dan tercakup di dalamnya juga pahatan. Gambar atau patung dinamakan shurah. Jamaknya shuwar. Di dalam bahasa disebut juga tashawir. Tercakup di dalamnya tamatsil (patung-patung). Di dalam bahasa dikatakan tashawir adalah tamatsil.

Menggambar yang dilarang

Syara’ telah mengharamkan menggambar sesuatu yang di dalamnya terdapat ruh, seperti manusia, binatang dan burung. Sama saja, apakah gambar tersebut pada kertas, kulit, pakaian, perkakas, perhiasan, uang, atau lainnya. Semuanya adalah haram. Karena, sekedar menggambar sesuatu yang di dalamnya terdapat ruh adalah haram, pada barang apa pun gambar ini dibuat. Sedangkan menggambar sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat ruh, maka itu boleh, tidak ada larangan di dalamnya. Syara’ telah menghalalkan menggambar pohon, gunung, bunga, dan lainnya yang di dalamnya tidak terdapat ruh.
Pengharaman menggambar sesuatu yang di dalamnya terdapat ruh tetap dengan nash-nash syar’i.
  1. Bukhari mengeluarkan dari hadits Ibnu Abbas, dia berkata: “Ketika Nabi saw. melihat gambar-gambar yang ada di dalam Rumah (Ka’bah), beliau tidak masuk sampai memerintahkan untuk menghapusnya.”
  2. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa dia memasang tirai yang padanya terdapat gambar-gambar. Lalu Rasulullah saw. masuk dan melepasnya. Aisyah berkata: “Lalu aku memotongnya menjadi dua bantal. Dan beliau dulu bersandar pada keduanya.” (Diriwayatkan oleh Muslim).
  3. Dalam lafadz Ahmad: “Lalu aku melepasnya dan memotongnya menjadi dua sandaran (bantal). Sungguh aku telah melihat beliau bersandar pada salah satu dari keduanya, sedang padanya terdapat gambar.”
  4. Muslim dan Bukhari mengeluarkan dari hadits Aisyah, dia berkata: “Rasulullah saw. memasuki ruanganku sedang aku telah menutup sebuah sahwah (semacam rak) milikku dengan qiram yang padanya terdapat gambar-gambar. Ketika beliau melihatnya, beliau melepaskannya, sedang wajah beliau telah berwarna (marah). Beliau berkata: “Wahai Aisyah, manusia yang paling pedih siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menyamai penciptaan Allah.” Qiram adalah tabir tipis yang padanya terdapat warna-warna, atau tabir yang padanya terdapat garis-garis atau lukisan.
  5. Dalam hadits Muslim, diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata: “Rasulullah tiba dari perjalanan, sedang aku telah menutup pintuku dengan durnuk yang padanya terdapat kuda yang memiliki sayap. Maka beliau menyuruhku untuk melepasnya.” Durnuk adalah sejenis kain.
  6. Bukhari mengeluarkan dari hadits Ibnu Abbas, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa menggambar sebuah gambar, maka Allah akan mengazabnya dengan gambar tersebut pada hari kiamat, sampai dia meniupkan (ruh) padanya, pahahal dia tidak dapat meniupkan (ruh).”
  7. Dia juga mengeluarkan melalui Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa pada hari kiamat. Dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan.”
  8. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki mendatanginya lalu berkata: “Sesungguhnya aku telah menggambar gambar-gambar ini dan membuat gambar-gambar ini. Maka berilah fatwa padaku tentangnya.” Ibnu Abbas berkata: “Mendekatlah padaku.” Lalu dia mendekat pada Ibnu Abbas, sampai Ibnu Abbas meletakkan tangannya di atas kepala laki-laki tersebut. Ibnu Abbas berkata: “Aku beritahukan kepadamu tentang apa yang aku dengar dari Rasulullah saw. Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Setiap penggambar ada di dalam neraka. Kepada setiap gambar yang digambarnya diberikan jiwa. Gambar tersebut menyiksanya di jahanam. Maka, jika kamu harus menggambar, gambarlah pohon dan apa yang tidak memiliki jiwa.’”
  9. Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Jibril as. mendatangiku lalu berkata: “Sesungguhnya aku telah mendatangimu tadi malam. Dan tidak ada yang menghalangiku untuk memasuki rumah yang kamu ada di dalamnya kecuali bahwa di dalam rumah tersebut terdapat patung seorang laki-laki, di dalam rumah tersebut terdapat qiram berupa tabir yang padanya terdapat gambar-gambar, dan di dalam rumah tersebut terdapat anjing. Maka perintahkanlah agar kepala patung tersebut dipotong dan dibuat seperti bentuk pohon, perintahkanlah agar tabir tersebut dipotong dan dijadikan dua bantal yang diinjak, dan perintahkanlah agar anjing tersebut dikeluarkan.” Lalu Rasulullah saw. melakukan itu. Dan qiram adalah tabir tipis dari wool yang memiliki warna.
10.  Bukhari meriwayatkan melalui Abu Juhaifah, bahwa dia membeli seorang budak ahli bekam, lalu dia berkata: “Sesungguhnya Nabi saw. melarang harga darah, harga anjing, dan pendapatan pelacur. Dan beliau melaknat pemakan riba dan orang yang mewakilkannya, pembuat tatto dan orang yang minta dibuatkan, serta penggambar.”
Hadits-hadits ini secara keseluruhan memuat perintah untuk meninggalkan menggambar dengan perintah yang tegas. Ini adalah dalil bahwa menggambar adalah haram. Dan ini umum, mencakup semua gambar. Sama saja, gambar yang memiliki bayangan atau tidak memiliki bayangan. Dan sama saja, gambar sempurna atau separuh. Tidak ada perbedaan dalam pengharaman menggambar antara gambar yang memiliki bayangan dan gambar yang tidak memiliki bayangan, serta antara gambar sempurna yang mungkin hidup dan gambar separuh yang tidak mungkin hidup. Semuanya haram, berdasarkan keumuman hadits-hadits di atas. Juga, karena hadits Ibnu Abbas tentang Rumah menunjukkan bahwa gambar-gambar yang ada di Ka’bah adalah yang dilukis dan tidak memiliki bayangan. Karena, Rasul tidak memasukinya sampai gambar-gambar tersebut dihapus. Dan hadits Aisyah menunjukkan bahwa tabir tersebut padanya terdapat gambar yang tidak memiliki bayangan.
Diriwayatkan bahwa Nabi saw. mengirim Ali dalam sebuah sariyyah. Beliau berkata kepadanya: “Janganlah kamu meninggalkan sebuah patung kecuali kamu hancurkan, tidak pula sebuah gambar kecuali kamu hapus, dan tidak pula sebuah kuburan yang dimuliakan kecuali kamu ratakan dengan tanah.”
Di sini beliau menyebutkan kedua jenis: yang memiliki bayangan yaitu patung, dan yang tidak memiliki bayangan yaitu gambar yang dihapus. Jadi, pembedaan antara yang memiliki bayangan dan yang tidak memiliki bayangan tidak benar dan tidak memiliki dasar. Juga, karena keberadaan gambar tersebut bisa hidup atau tidak bisa hidup bukanlah ‘illah pengharaman. Dan tidak ada dalil yang mengecualikan itu dari pengharaman.
Menggambar yang diperbolehkan
Sedangkan bolehnya menggambar sesuatu yang tidak terdapat ruh di dalamnya, berupa pohon, gunung, dan lainnya, itu disebabkan karena pengharaman dalam hadits-hadits yang mengharamkan menggambar dibatasi dengan gambar yang di dalamnya terdapat ruh. Ini adalah batasan (qaid) yang diakui dan memiliki mafhum yang diterapkan. Dan mafhumnya adalah bahwa gambar yang di dalamnya tidak terdapat ruh tidak haram. Benar bahwa sebagian hadits berbentuk muthlaq (tanpa batasan). Tapi sebagian yang lain berbentuk muqayyad (memiliki batasan). Dan kaedah Ushul menyatakan bahwa yang muthlaq disamakan dengan yang muqayyad. Sehingga, pengharaman hanya berlaku pada gambar yang di dalamnya terdapat ruh, yaitu manusia, binatang dan burung. Sedangkan selain itu, tidak haram menggambarnya, tapi boleh.
Di samping itu, pembolehan menggambar sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat ruh, berupa pohon dan lainnya, telah disebutkan dengan jelas dalam hadits-hadits tersebut. Dalam hadits Abu Hurairah: “Maka perintahkanlah agar kepala patung tersebut dipotong dan dibuat seperti bentuk pohon.” Ini berarti bahwa patung pohon tidak apa-apa. Dan dalam hadits Ibnu Abbas: “Maka, jika kamu harus menggambar, gambarlah pohon dan apa yang tidak memiliki jiwa.”
Hadits-hadits yang mengharamkan menggambar tidak memiliki ‘illah. Tidak terdapat penjelasan ‘illah menggambar dengan illah apa pun. Karena itu, janganlah mencari ‘illah untuknya. Sedangkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar berupa perkataan Rasul: “Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan”, apa yang terdapat dalam hadits Ibnu Abbas: “sampai dia meniupkan (ruh) padanya, pahahal dia tidak dapat meniupkan (ruh)”, dan apa yang terdapat hadits Aisyah tentang gambar: “manusia yang paling pedih siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menyamai penciptaan Allah”; semua itu tidak disebutkan sebagai penjelasan ‘illah. Lafa dz-lafadz dan kalimat-kalimat yang ada dalam hadits-hadits ini darinya tidak dapat dipahami ‘illah. Segala yang terjadi hanyalah bahwa Rasul menyerupakan menggambar dengan penciptaan, dan para penggambar dengan Sang Pencipta. Dan penyerupaan (tasybih) bukanlah penjelasan ‘illah dan tidak bisa menjadi ‘illah. Karena, penyerupaan sesuatu dengan sesuatu yang lain tidak menjadikan sesuatu yang diserupai (musyabbah bih) sebagai ‘illah bagi sesuatu yang diserupakan (musyabbah). Dia hanya menjadi penjelasan baginya. Dan penjelasan bagi sesuatu bukanlah ‘illah baginya.

Apakah ada Illatnya?

Dengan demikian, tidak dapat dikatakan bahwa menggambar haram karena di dalamnya terdapat perbuatan menyamai penciptaan Allah. Karena, Allah Ta’ala menciptakan manusia, binatang dan burung, serta menciptakan pohon, gunung dan bunga-bunga. Dengan demikian, ‘illah ini terdapat juga dalam pohon, gunung, bunga-bunga dan lainnya. Karena, semuanya adalah ciptaan Allah juga. Sehingga, menggambarnya haram, karena adanya ‘illah di dalamnya. Dan ‘illah berputar bersama hukum, dari segi ada dan tidaknya. Padahal, nash-nash menyebutkan pembolehan menggambar pohon dan semua yang di dalamnya tidak terdapat ruh. Dengan demikian, menggambar manusia dan binatang haram berdasarkan nash-nash yang mengharamkannya, bukan karena adanya ‘illah tertentu. Dan menggambar pohon, gunung dan semua yang di dalamnya tidak terdapat ruh boleh, tidak ada larangan tentangnya, berdasarkan nash-nash yang membolehkannya.

Hukum Fotografi

Satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa semua persoalan gambar dan menggambar, yang dimaksud ialah gambar-gambar yang dipahat atau dilukis, seperti yang telah kami sebutkan di atas.
Adapun masalah gambar yang diambil dengan menggunakan sinar matahari atau yang kini dikenal dengan nama fotografi, maka ini adalah masalah baru yang belum pernah terjadi di zaman Rasulullah s.a.w. dan ulama-ulama salaf. Oleh karena itu apakah hal ini dapat dipersamakan dangan hadis-hadis yang membicarakan masalah melukis dan pelukisnya seperti tersebut di atas?
Orang-orang yang berpendirian, bahwa haramnya gambar itu terbatas pada yang berjasad (patung), maka foto bagi mereka bukan apa-apa, lebih-lebih kalau tidak sebadan penuh. Tetapi bagi orang yang berpendapat lain, apakah foto semacam ini dapat dikiaskan dengan gambar yang dilukis dengan menggunakan kuasa? Atau apakah barangkali illat (alasan) yang telah ditegaskan dalam hadis masalah pelukis, yaitu diharamkannya melukis lantaran menandingi ciptaan Allah –tidak dapat diterapkan pada fotografi ini? Sedang menurut ahli-ahli usul-fiqih kalau illatnya itu tidak ada, yang dihukum pun (ma’lulnya) tidak ada.
Jelasnya persoalan ini adalah seperti apa yang pernah difatwakan oleh Syekh Muhammad Bakhit, Mufti Mesir: “Bahwa fotografi itu adalah merupakan penahanan bayangan dengan suatu alat yang telah dikenal oleh ahli-ahli teknik (tustel). Cara semacam ini sedikitpun tidak ada larangannya.”
Karena larangan menggambar, yaitu mengadakan gambar yang semula tidak ada dan belum dibuat sebelumnya yang bisa menandingi (makhluk) ciptaan Allah. Sedang pengertian semacam ini tidak terdapat pada gambar yang diambil dengan alat (tustel).”
Sekalipun ada sementara orang yang ketat sekali dalam persoalan gambar dengan segala macam bentuknya, dan menganggap makruh sampai pun terhadap fotografi, tetapi satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa mereka pun akan memberikan rukhshah terhadap hal-hal yang bersifat darurat karena sangat dibutuhkannya, atau karena suatu maslahat yang mengharuskan, misalnya kartu pendliduk, paspor, foto-foto yang dipakai alat penerangan yang di situ sedikitpun tidak ada tanda-tanda pengagungan. atau hal yang bersifat merusak aqidah. Foto dalam persoalan ini lebih dibutuhkan daripada melukis dalam pakaian-pakaian yang oleh Rasulullah sendiri sudah dikecualikannya.

Subjek Gambar

Yang sudah pasti, bahwa subjek gambar mempunyai pengaruh soal haram dan halalnya. Misalnya gambar yang subjeknya itu menyalahi aqidah dan syariat serta tata kesopanan agama, semua orang Islam mengharamkannya.
Oleh karena itu gambar-gambar perempuan telanjang, setengah telanjang, ditampakkannya bagian-bagian anggota khas wanita dan tempat-tempat yang membawa fitnah, dan digambar dalam tempat-tempat yang cukup membangkitkan syahwat dan menggairahkan kehidupan duniawi sebagaimana yang kita lihat di majalah-majalah, surat-surat khabar dan bioskop, semuanya itu tidak diragukan lagi tentang haramnya baik yang menggambar, yang menyiarkan ataupun yang memasangnya di rumah-rumah, kantor-kantor, toko-toko dan digantung di dinding-dinding. Termasuk juga haramnya kesengajaan untuk memperhatikan gambar-gambar tersebut.
Termasuk yang sama dengan ini ialah gambar-gambar orang kafir, orang zalim dan orang-orang fasik yang oleh orang Islam harus diberantas dan dibenci dengan semata-mata mencari keridhaan Allah. Setiap muslim tidak halal melukis atau menggambar pemimpin-pemimpin yang anti Tuhan, atau pemimpin yang menyekutukan Allah dengan sapi, api atau lainnya, misalnya orang-orang Yahudi, Nasrani yang ingkar akan kenabian Muhammad, atau pemimpin yang beragama Islam tetapi tidak mau berhukum dengan hukum Allah; atau orang-orang yang gemar menyiarkan kecabulan dan kerusakan dalam masyarakat seperti bintang-bintang film dan biduan-biduan.
Termasuk haram juga ialah gambar-gambar yang dapat dinilai sebagai menyekutukan Allah atau lambang-lambang sementara agama yang samasekali tidak diterima oleh Islam, gambar berhala, salib dan sebagainya.
Barangkali seperai dan bantal-bantal di zaman Nabi banyak yang memuat gambar-gambar semacam ini. Oleh karena itu dalam riwayat Bukhari diterangkan; bahwa Nabi tidak membiarkan salib di rumahnya, kecuali dipatahkan.

Ibnu Abbas meriwayatkan:
“Sesungguhnya Rasulullah s.a. w. pada waktu tahun penaklukan Makkah melihat palung-patung di dalam Baitullah, maka ia tidak mau masuk sehingga ia menyuruh, kemudian dihancurkan.” (Riwayat Bukhari).

Tidak diragukan lagi, bahwa patung-patung yang dimaksud adalah patung yang dapat dinilai sebagai berhala orang-orang musyrik Makkah dan lambang kesesatan mereka di zaman-zaman dahulu.
Ali bin Abu Talib juga berkata:
“Rasulullah s.a.w. dalam (melawat) suatu jenazah ia bersabda: Siapakah di kalangan kamu yang akan pergi ke Madinah, maka jangan biarkan di sana satupun berhala kecuali harus kamu hancurkan, dan jangan ada satupun kubur (yang bercungkup) melainkan harus kamu ratakan dia, dan jangan ada satupun gambar kecuali harus kamu hapus dia? Kemudian ada seorang laki-laki berkata: Saya! Ya, Rasulullah! Lantas ia memanggil penduduk Madinah, dan pergilah si laki-laki tersebut. Kemudian ia kembali dan berkata: Saya tidak akan membiarkan satupun berhala kecuali saya hancurkan dia, dan tidak akan ada satupun kuburan (yang bercungkup) kecuali saya ratakan dia dan tidak ada satupun gambar kecuali saya hapus dia. Kemudian Rasulullah bersabda: Barangsiapa kembali kepada salah satu dari yang tersebut maka sungguh ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w.” (Riwayat Ahmad; dan berkata Munziri: Isya Allah sanadnya baik)
Barangkali tidak lain gambar-gambar/patung-patung yang diperintahkan Rasulullah s.a.w. untuk dihancurkan itu, melainkan karena patung-patung tersebut adalah lambang kemusyrikan jahiliah yang oleh Rasulullah sangat dihajatkan kota Madinah supaya bersih dari pengaruh-pengaruhnya. Justru itulah, kembali kepada hal-hal di atas berarti dinyatakan kufur terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Hukum Memiliki Gambar 

Ini yang berkaitan dengan menggambar itu sendiri. Sedangkan memiliki gambar-gambar yang telah digambar, jika itu di tempat yang disediakan untuk ibadah, seperti masjid, mushala, dan lainnya, maka haram secara pasti. Dasarnya adalah apa yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas bahwa Rasul saw. menolak untuk memasuki Ka’bah sampai gambar-gambar yang ada padanya dihapus. Ini adalah perintah yang tegas untuk meninggalkan, sehingga menjadi dalil pengharaman.
Sedangkan memiliki gambar-gambar tersebut di tempat yang tidak disediakan untuk beribadah, seperti rumah, perpustakaan, sekolah, dan lainnya, di dalamnya terdapat perincian dan penjelasan. :
  1. Jika gambar dipasang di tempat yang di dalamnya terdapat penghormatan terhadap gambar tersebut, maka makruh, tidak haram.
  2. Jika gambar dipasang di tempat yang di dalamnya tidak terdapat penghormatan terhadap gambar tersebut, maka boleh, tidak apa-apa.
Pemakruhan di tempat yang di dalamnya terhadap penghormatan terhadapnya adalah berdasarkan hadits Aisyah bahwa Rasul melepas tabir yang padanya terdapat gambar. Juga berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwa Jibril menolak untuk memasuki rumah karena di dalamnya terdapat patung, gambar dan anjing. Sedangkan bahwa pemakruhan ini khusus bagi gambar yang diletakkan di tempat yang di dalamnya terdapat penghormatan terhadapnya, dan bahwa tidak apa-apa jika gambar tersebut diletakkan di tempat yang di dalamnya tidak terdapat penghormatan terhadapnya, adalah karena hadits Aisyah menyebutkan bahwa Rasul melepas tabir yang padanya terdapat gambar ketika gambar itu ditegakkan, dan bahwa beliau bersandar pada bantal yang padanya terdapat gambar. Juga, karena dalam hadits Abu Hurairah, Jibril berkata kepada Rasul: “perintahkanlah agar tabir tersebut dipotong dan dijadikan dua bantal yang diinjak”. Ini menunjukkan bahwa larangan mengarah pada meletakkan gambar di tempat yang di dalamnya terdapat penghormatan terhadapnya, dan tidak mengarah pada memiliki gambar tersebut.
Sedangkan bahwa meletakkan gambar di tempat yang di dalamnya terdapat penghormatan terhadapnya adalah makruh bukan haram, adalah disebabkan karena larangan yang terdapat dalam hadits-hadits tersebut tidak disertai qarinah yang menunjukkah penegasan, seperti ancaman terhadap orang yang memiliki gambar, atau celaan terhadapnya, atau semacamnya, sebagaimana yang disebutkan dalam larangan menggambar. Larangan tersebut hanyalah berupa perintah untuk meninggalkan. Dan terdapat hadits-hadits lain yang melarang memiliki patung dan membolehkan memiliki gambar yang dilukis. Ini menjadi qarinah bahwa larangan tersebut tidak tegas.
Dalam hadits Abu Thalhah milik Muslim diriwayatkan dengan lafadz: “Malaikat tidak memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing atau gambar.”
Dalam riwayat lain dari jalan yang diriwayatkan oleh Muslim, beliau bersabda: “Kecuali lukisan di baju”.
Ini menunjukkan pengecualian gambar yang dilukis di baju. Mafhumnya adalah bahwa malaikat memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar yang dilukis di baju. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits-hadits larangan lainnya, maka dia menjadi qarinah bahwa perintah untuk meninggalkan di sini tidaklah tegas. Dengan demikian, memiliki gambar di tempat yang di dalamnya terdapat penghormatan terhadapnya adalah makruh, bukan haram.

SEPUTAR PERMASALAHAN HUKUM FOTO,GAMBAR DAN LUKISAN BAGIAN 2

FATWA SEPUTAR FOTOGRAFI
 
Berikut adalah pertanyaan dan jawaban seputar masalah video fotografi oleh dua ‘ulama besar Saudi Arabia (Hafidzahumallah) yaitu Syaikh Bin Baaz dan Syaikh Al-’Utsaimin, berkaitan dengan hadits :
Dari Ibnu Mas’ud Radiyallahu `anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu `alaihi wasalam bersabda : “Sesungguhnya manusia yang paling keras disiksa di hari Kiamat adalah para tukang gambar [makhuk hidup] ( yaitu mereka yang meniru ciptaan Allah)”. (Shahihain – yakni dalam dua kitab Shahih Bukhari dan Muslim atau biasa disebut muttafaqun `alaihi, red)
Dari Ibnu Umar Radiyallahu `anhu berkata : Rasulullah Shallallahu `alaihi wasalam bersabda : “Sesungguhnya orang yang membuat gambar- gambar [makhluk hidup] ini akan disiksa [pada] hari kiamat, dan dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkanlah apa yang telah kalian buat!’”.(Dalam Shahihain, lafadz Bukhari).
Boleh atau tidak bolehkah fotografi itu? Apa dalil orang-orang yang membolehkannya dan yang melarangnya? Silakan baca ulasan tentang keduanya melalui fatwa di bawah ini. Semoga bermanfaat.
Pendapat yang membolehkan (tidak mutlak) :

Syaikh ‘Utsaimin ditanya :
Ya Fadhillah As Syeikh, Allah menyaksikan bahwa saya mencintai anda karena Allah.
Apa pendapat Syeikh tentang kamera foto, kamera video untuk dokumentasi ?
Karena kami dimintai oleh divisi pendidikan dan departemen pendidikan [untuk mendokumentasikannya]

Jawab Syaikh Utsaimin :
Saya katakan pada penanya, semoga Allah mencintainya karena dia mencintai saya karena Allah.
Saya berpendapat bahwa video atau fotografi boleh-boleh saja, karena untuk kebutuhan. Dan mengambil gambar dengan video pada hakekatnya bukanlah menggambar karena gambar yang ada di dalam kaset video tidak terbentuk secara jelas, tapi hanya berupa pita kaset yang apabila diputar baru terbentuk gambar.
Adapun fotografi instan (polaroid), yang tidak membutuhkan waktu yang lama, maka yang demikian itu pada hakekatnya tidak digolongkan kedalam jenis lukisan. Jelas?
Bukan lukisan, tapi itu adalah pengambilan gambar yang ada di depannya dengan cara menekan tombol. Tapi apakah kamera tersebut melukis wajah ?
Jawabnya… tidak! Demikian juga mata, tidak juga. Maka hasilnya seperti aslinya yang Allah ciptakan.
Kemudian saya umpamakan kalau saya menulis di kertas lalu difotokopi, apakah hasil fotokopi ini bisa dikatakan tulisan mesin fotokopi atau tulisan saya ? Jawablah wahai pemuda soal ini.
Saya menulis “segala puji bagi Allah, shalawat serta salam atas nabi. ..” kemudian saya fotokopi, maka keluarlah hasil fotokopi tersebut. Apakah huruf yang keluar dari alat tersebut tulisan alat atau tulisan saya? Tulisan saya!
Inipun sama saja. Sebab itu sebuah kamera bisa memfoto walaupun tukang fotonya buta. Tinggal dihadapkan kepada objek, jadilah gambar.
Tapi kita bertanya, untuk apa dia memotretnya? Jika tujuannya untuk yang haram, maka hukumnya pun haram. Jika tujuannya untuk yang mubah, maka hukumnya pun mubah, atau dalam perkara yang dibutuhkan itu pun boleh.

Pendapat yang tidak membolehkan :
Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz ditanya :

Bagaimana dengan hukum fotografi, apakah sama seperti kalau kita menggambar dengan tangan? Bagaimana dengan foto Syaikh (Bin Baz, red) yang ada di majalah, apakah ini menunjukkan bolehnya gambar walaupun itu di luar sepengetahuan syaikh tersebut? kalau foto tidak boleh, bagaimana hukumnya membeli koran dan majalah yang penuh dengan foto, walaupun yang kita cari adalah berita-berita penting bukan fotonya? Apakah boleh boleh meletakkan koran dan majalah tersebut di mushalla ataukah kita harus merusaknya setelah membaca? Lantas bagaimana pula hukumnya menonton televisi ?

Jawab :
Fotografi termasuk pembuatan gambar yang diharamkan dan hukumnya sama seperti menggambar dengan tangan. Yang berbeda adalah cara pembuatannya. Demikian juga alat ini tidaklah menunjukkan perbedaan dalam hukumnya. Tidak ada bedanya orang itu harus bersusah payah dahulu untuk membuat gambar atau tidak. Sedangkan mengenai gambar saya (Syaikh bin Baz rahimahullah) yang dimuat di majalah, itu adalah diluar sepengetahuan saya. Dan ini tidaklah menunjukkan bahwa saya mengizinkannya, saya pun tidak meridhoinya.
Tentang majalah dan surat kabar yang memuat berita penting dan masalah keilmuan yang bermanfaat sendang di dalamnya ada gambar-gambar bernyawa, maka boleh membelinya dan mengambil manfaat darinya berupa ilmu, dan berita, sedangkan gambar-gambar itu hanya mengikuti saja. Hukum majalah dan koran itu mengikuti asal tujuannya, yaitu tanpa gambar-gambar itu. Tentu saja boleh meletakkannya di mushalla dengan menutupi gambarnya atau menghapus kepalanya (kebanyakan orang menganggap cukup dgn menghapus matanya, red).
Mengenai televisi, tidak boleh ditaruh di mushalla dan tidak boleh menonton acara-acara yang mempertontonkan acara-acara yang mempertontonkan perempuan telanjang atau perbuatan-perbuatan lain yang tidak senonoh.